Mengemas pangan

Awal Rumah Mocaf 

Berawal dari niat untuk membantu petani singkong, Riza Azyumarridha Azra akhirnya mampu mengembangkan bisnis tanaman pangan yang identik dengan kalangan marginal itu naik kelas dan beromzet ratusan juta rupiah. Salah satu caranya ialah melalui platform digital.

Berbicara melalui konferensi video dengan Media Indonesia, Selasa (15/2), Riza bercerita awalnya hanya sekadar ingin membantu para petani singkong di daerah asalnya, Banjarnegara, Jawa Tengah. Kegiatan itu hanya bermodalkan semangat sosial, sekadar membantu memasarkan produk pertanian itu secara konvensional dengan mendatangi satu toko ke toko lainnya. Namun, meski Riza sudah turut memberikan pengembangan ke petani, tidak ada serapan pasar atas produk singkong. Akhirnya, ia pun mendirikan Rumah Mocaf Indonesia sebagai lini bisnisnya. 

Rumah Mocaf Indonesia ialah UKM yang menjual produk-produk dari singkong. Mocaf sendiri merupakan kependekan dari modified cassava flour yang mengolah tepung singkong dengan fermentasi mikroba atau enzimatis.

“Awalnya memang hanya dijual secara konvensional. Dari toko ke toko. Tebak-tebak buah manggis tanpa melihat peta target pasar yang terfokus,” kata Riza.

Dalam sehari, Riza dan timnya bisa keliling ke tiga hingga empat toko. Bahkan, kalau jaraknya berjauhan, mentok cuma dua. Maka itu, tak heran jika dalam sebulan untuk menjual 10 kilogram tepung mocaf Riza sangat kesulitan. 

Rumah Mocaf Indonesia kemudian menemukan momentum mereka untuk bergeser model bisnisnya pada 2018. Ketika itu, ia pun merekrut tim yang semula diawali dari dua personel untuk membantu persona digital bisnisnya, membuat akun media sosial, dan situs resmi. 

“Saat itu kami melihat, oh, ternyata eranya sekarang sudah menuju ke arah digitalisasi semua. Orang belanja di marketplace atau bahkan di media sosial. Hal seperti itu yang kami pelajari dan merekrut tim secara tepat dan menggarap serius bisnis daring,” kata Riza, pendiri sekaligus CEO Rumah Mocaf Indonesia. 

Perkembangan Rumah Mocaf 

Rumah Mocaf lalu punya situs resmi yang kala itu bermodal sekira Rp1,6-Rp1,8 juta. Konten di Instagram-nya juga mulai dirapikan. Dari yang mulanya hanya Riza sendiri yang mengambil foto dengan komposisi dan kualitas yang kurang ‘menjual’ hingga kini bisnisnya terus bertumbuh dengan merekrut sekira enam orang untuk urusan konten dan pemasaran daring, termasuk ahli teknik informatika, desainer grafis, dan penulis wara (copywriter). 

Tentu dengan perubahan itu pun turut berimpak ke penjualan dan cakupan pasar Rumah Mocaf. Semula yang harus keliling dari toko ke toko, kini mereka melakukan itu cukup dengan mengeklik tombol-tombol fitur di medsos atau Google untuk mengetahui siapa saja sebenarnya pencari produk mereka. Penjualan juga jadi naik signifikan.

 “Kalau dulu masuk ke beberapa toko, mereka cuma mencoba dulu produk kami. Atau kalaupun beli cuma berapa, bahkan ada yang konsinyasi. Ketika masuk ke online, sekali closing bisa 200-600 item dan dibayar cash. Hal-hal seperti itu yang menjadikan impaknya cukup signifikan,” kata pria berusia 30 tahun tersebut. 

Saat awal merekrut tim digital mereka yang kala itu baru ada dua personel, Rumah Mocaf memang baru bisa menggaji dengan cara bagi keuntungan dari total produk yang terjual. Namun, kini enam personel yang bergabung juga sudah mendapat gaji dan kesejahteraan yang layak. 

Untuk mempertahankan persona digital mereka, Rumah Mocaf kemudian berinvestasi ke berbagai peralatan yang mendukung. Mulai laptop untuk menyunting video dan foto, kamera, tata cahaya, dan studio mini. Investasi yang dilakukan secara bertahap ini modalnya lebih dari Rp100 juta. Di samping itu, mereka juga mendapat fasilitasi dari Bank Indonesia kantor perwakilan Purwokerto sebagai salah satu UMKM yang didorong untuk bertransformasi ke digital dengan tambahan beberapa peralatan. 

Produksi Melonjak 

Dampak signifikan saat masuk ke pemasaran digital tidak terjadi dalam sekejap. Membangun branding dan semakin menemukan target pasar yang tepat jadi salah satu kuncinya. Tentu investasi ke berbagai piranti gawai untuk mendukung kampanye konten mereka di ranah digital juga turut mendongkrak penjualan. 

Dari yang semula cuma memproduksi 10 kilogram tepung mocaf, kini per bulan mereka bisa mencapai 15-30 ton. Jika perkiraan harga per kilonya yang mencapai Rp18 ribu, omzet yang dimiliki per bulannya setidaknya berkisar antara Rp270 juta-Rp540 juta. 

Kini mereka juga sudah punya sekitar 250 agen penjualan di beberapa daerah di Indonesia dengan Jabodetabek menjadi yang terbanyak. Lalu jika menengok ke toko daring mereka di lokapasar, seperti di Tokopedia dan Shopee, produk mi sehat mocaf dan tepung mocaf jadi yang paling laris. Di Tokopedia, produk mi mereka terjual hingga 76 item. Sementara itu, di Shopee, terjual 12 item. Untuk produk tepung mocaf, setidaknya di Tokopedia terjual hingga 13 item dan di Shopee terjual 14 item. 

Di kedua platform, Rumah Mocaf juga cukup apik dengan mendapat rating toko mendekati 5 (Tokopedia 4,8 dan Shopee 4,9). Mayoritas pembeli memang memberikan bintang lima. Namun, dari pantauan Media Indonesia di tiap-tiap platform, ada dua pelanggan yang memberikan bintang tiga berkaitan soal kepuasan dan kesalahan pengiriman barang. 

“Saat ini, penjualan terbanyak memang masih melalui kanal perpesanan Whatsapp dengan proporsi 50:50 antara business to business (b2b) dan business to customer (b2c),” kata Riza. 

Literasi Keuangan

Meski upaya digitalisasi banyak memberikan keuntungan bagi bisnisnya, Riza juga tidak menampik jika dalam dunia pemasaran digital kadang juga ada risiko ‘boncos’ alis rugi. Hal itu, kata dia, karena dinamika algoritma internet yang terus berubah. 

Di samping itu, salah satu yang juga menjadi tantangan bagi kebanyakan UMKM di era digital saat ini ialah masih rendahnya literasi keuangan. Karena itu, untuk mengembangkan bisnis menjadi skala yang lebih besar, kerap kali masih tersandung pada belum terciptanya pencatatan yang disiplin dari pelaku. 

“Pada kenyataannya, banyak UMKM yang untuk merekrut satu karyawan saja masih pikir-pikir karena bisa menggaji atau tidak. Itu salah satunya terjadi karena rendahnya literasi keuangan. Itu yang saya lihat. Menjadi poin atau akar yang perlu dibenahi bersama-sama karena laporan keuangan bisa menjadi semacam dasbor usaha yang sehat atau tidak. Bagaimana bisa melihat apakah sudah bisa merekrut tim, sementara pencatatan keuangannya saja masih dicampur antara personal dan bisnis,” kata peraih Kick Andy Heroes 2021 tersebut. 

Korelasinya, ketika literasi pengelolaan keuangan masih minim, akan menjadikan bom waktu bagi pelaku UMKM. Seolah selalu ada pesanan dan terus berproduksi, tetapi sebenarnya banyak komponen yang tidak terhitung. Karena itu, tiba-tiba saja bisnisnya merugi dan sudah kehabisan modal. 

“Itu yang perlu diantisipasi. Ketika di awal sudah mendisiplinkan pencatatan keuangan yang baik, pelaku usaha bisa melakukan perhitungan. Katakanlah untuk bisa menutup operasional dan lain-lain atau butuh penjualan minimal sampai berapa item, sih. Itu, kan, angkaangka keluar karena ada perhitungan.” 

Sumber: https://mediaindonesia.com/ekonomi/472035/mengemas-pangan-marginal-di-pasar-digital

Leave a Comment

Your email address will not be published.

0
X